Minggu, 24 Oktober 2010

Coretan Kecil yang ku beri judul "Senyum dalam Senja".


Lagu simphoni mengalun dari hp Ira. “Teteh ada telphone”. Nana adik sepupu Ira memanggilnya. Baru saja ia menyimpan kado di kamar tidur ira. “Ia neng”.  Segera ia menghampiri dan mengangkat hp yang sejak tadi memang ia tinggalkan di dalam kamar. Dari tadi pagi keluarga Ira sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan dirinya yang tinggal tiga hari lagi. Para tetangga dan saudara jauhpun ikut membantu.
Ira melihat layar handphonnya. Nomor baru. Segera ia tekan tombol answer.
“Assalamu alaikum”.
“Wa alaikum salam”. Ira terdiam. Ia tahu betul siapa pemilik suara  yang menjawab salamnya.
Brukk. Tiba-tiba saja ia merasa lemas. Kakinya tak mampu menahan beban tubuhnya untuk berdiri. Mata hitamnya mendadak kosong. Tak ada lagi yang dipikirkanya selain sosok si pemilik suara.
Cukup lama Ira tak bisa mengontrol dirinya. Seolah tahu apa yang di alami Ira si penelepon memberanikan diri untuk membuka suara.
“Neng sehat?”. Tanyanya. Ira tetap terdiam. Panggilan itu kembali ia dengar. Saat ini. Di waktu yang sangat tidak tepat. “Neng”. Suara itu menunggu jawabnya .
Ira beristigfar dalam hati. Ia harus kuat. “Alhamdulillah sehat. Aa sehat?”. Sakit ia rasakan ketika mengucapkan kata yang sejak dulu memang merupakan panggilan kepada lelaki yang saat ini meneleponnya.
“Udah jadi sarjana ya sekarang mah. Ngajar di sekolah mana?”.
Ira benar-benar merasakan sakit yang luar biasa dalam hatinya. Seolah ada sesuatu yang menyayat. Susah sekali untuk bicara.“Ia, alhamdulillah empat bulan yang lalu Ira diwisuda. Sekarang ngajarnya di sekolah yang deket rumah aja. Mau nemenin orang tua”.
“Maaf kalau aa baru ngehubungin Ira sekarang”.
            Lalu apa alasan aa baru menghubungi Ira sekarang? Mengapa aa menghilang. Gadis itu kini menahan iar mata yang sudah mulai membobol pertahanan yang sejak tadi ia jaga.
“Aa mau ke rumah. Mau minta izin sama orang tua neng buat ngelamar Ira”.
Kali ini pertahananya benar-benar bobol. Ia tak sanggup lagi membendung air mata yang sajak tadi ia tahan. Air itu jatuh membasahi pipi halusnya. Benar-benar deras separti tak ingin berhenti.
Kenapa  aa katakan itu sekarang. Kenapa tidak sejak dulu. Saat ini aku sudah menentukan pilihanku. Saat ini dua keluarga besar sedang sibuk mempersiapkan pernikahan anak-anaknya. Kenapa aa selalu menyakitiku. Kenapa aa hadir lagi di hidup ku.
Masih banyak kenapa-kenapa yang Ira tanyakan. Ia tak mengerti. Ini benar-benar menyakitkan. Tangannya kuat menarik baju di bagian dadanya. Berharap sedikit mengurangi sakit yang ia rasakan.
Isakanya terdengar oleh laki-laki di sebrang sana. Isakan yang membuat lelaki itu bingung.  “Neng, neng nangis, kenapa?”.
Bukan jawaban dari pertanyaanya yang ia dapat melainkan isakan yang semakin terdengar jelas sampai ia bisa membayangkan bagaimana sakitnya. Ia terdiam. Beberapa saat tak ada yang bicara. Yang terdengaroleh keduanya hanya isak tangis Nazma.
“neng”. Lelaki itu mencoba menyapa saat isakannya mulai melemah.
“Empat hari lagi Ira mau nikah”.
Lelaki itu merasa bahwa ia seolah tersambar petir di siang bolong. Berton-ton beban menimpa tubuhnya. Kali ini persendianya yang terasa lemas. Wajahnya tertunduk dalam.
“siapa orang yang beruntung itu neng”. Ira dapat merasakan suara lelaki itu begitu lemas. Sakit sekali rasanya.
Ira harus kuat. Ira bukan siapa-siapanya a Fikri lagi. A Fikri juga bukan siapa-siapanya Ira. Sebentar lagi Ira jadi istri a Hanif. ira harus kuat. Ira mencoba menghilangkan sisi-sisa tangis dan isakannya. Ia menghirup nafas dengan membaca bismillah dan menghembuskannya pelan.
“A Hanif, aa juga pasti kenal dia kan. Kalau ada waktu datang ya”. Sekuat tenaga Ira menahan agar air matanya tak jatuh lagi.
Hanif. Hanya satu nama Hanif yang ia kenal. Hanif Permana. Jika itu memang ia Fikri kenal betul dengan Hanif Permana. Teman satu kampusnnya  nya dulu. Mahasiswa yang gila dengan kegiatan-kegiatan kampus. Prestasi akedemiknya pun tak kalah dengan dirinnya. Yang terakhir dia dengar Hanif langsung melanjutkan studynya di Bogor dan menjadi Master Scient dua tahun yang lalu. Berbeda dengan dia yang lebih memilih menacri pekarjaan dan baru menyelesaikan S2 nya tahun ini. Tepat dengan Ira menyelesaikan S1 nya. Tapi Fikri yakin bahwa Hanif tahu bahwa dirinya mencintai Ira sejak mereka kuliah bersama dulu.
“Hanif Permana?”. Ia harus memastikan.
“Ia, a Hanif yang katanya dulu sekampus sama aa”. Ira ingin sekali mengakhiri pembicaraan ini. Ia tak ingin lebih menyakiti dirinya dan Fikri. “Ira harus bantu-bantu yang lain. Kalau nggak ada lagi yang mau dibicarain Ira tutup ya”.
“Sebentar, boleh minta nomornya Hanif?”.
“Nanti Ira sampein kalau a Hanif datang. Assalamualaikum”.
“wa alaikum salam”.
Baru saja Ira akan keluar kamar. Hanif telah berdiri di depan pintu kamarnya.
Melihat wajah calon istrinya murung Hanif megelus kepala Ira yang dibalut kerudung birunya.
“Habis nangis ya? Kenapa?”.
“A Fikri tadi telpon”.
Hanif mengerti jika itu alasan Ira menangis. Ia yakin itu yang akan terjadi jika menyangkut Fikri.
“No nya ada? Aku minta ya”.
Ira segera mengambil hp kemudian memberikan nya kepada Hanif.
“Ya udah. Cuci muka dulu. terus bantuin yang lain ya”. Ira mengangguk. “ Aku mau ketemu sama Fikri dulu”. Lanjut Hanif.
“Tapi rumah a Fikri jauh a”.
“Nggak ke rumahnya ko. Paling di tempat aku dan Fikri dulu membicarakan kamu. Tenang aja ya”.
“Hati-hati”.
Hanif mengganguk “Assalamu alaikum”.
“Wa alaikum salam”. Semoga semuanya baik-baik aja. Doa Ira dalam hati.

“Assalamu alaikum”. Hanif menghampiri laki-laki yang sedang duduk memandang  jauh  laut yang ada di depannya. Kemudian duduk di samping lelaki itu.
“Wa alaikun salam”. Pandangannya tak sedikitpun beralih.
“Sehat Fik?”. Mereka berdua memandang indahnya pemandangan pantai di sore hari. Sama seperti saat mereka berdua masih kuliah bersama.
“alhamdulillah, kamu gimana?”.
“Alhamdulillah lebih dari sehat”.
“Selamat atas pernikahannya ya”.
“Terima kasih. Aku tahu kamu pasti terkejut saat tahu Ira akan menikah. Apalagi dengan ku. Teman yang dulu selalu mendengarkan ceritamu tentangnya”.
“Lalu kenapa kau mau menikahinya?”.
“Kamu fikir kalau aku tahu dia Ira yang kamu ceritakan aku mau menikahinya?”.
 “Sekarang kau sudah tahu”. Jawab Fikri tanpa mengalihkan pandanganya.
“jadi kamu tega melihat kedua keluarga besar kami menanggung malu?”.
Keduanya diam. Menatap langit yang semakin menguning.
“Kau tahu, aku selalu iri jika kamu berccerita tentang Ira. Aku ingin sekali mempunyai pendamping hidup seperti dia”. Masih tak ada tanggapan dari Fikri. Hanif melanjutkan ceritanya. Ira adalah salah satu mahasiswi di kampus aku mengajar. Saat teman-temanya memanggil dia Ira, aku berharap ia seperti Ira yang selama ini kau ceritakan. Bukan kah kau tak pernah sekalipun memperlihatkan wajah Ira dan memberi tahu ku nama lengkapnya”.
Fikri tetap masih terdiam. Belum bisa menerima penjelasan Hanif walau ia sadar ia memang tak pernah memperlihatkan wajah Ira. Bagaimana mau memperlihatkan. Foto Ira saja dia tidak punya.
“Keinginan ku semakin menjadi kenyataan saat kami sudah mulai dekat. Dia memang seperti yang kau ceritakan. Sopan, sedikit manja dan perhatian pada siapa saja. Aku pun memiliki Aira yang dapat ku banggakan kepadamu”.
Fikri tersenyum. Ira memang seperti itu.
“Lalu aku tahu bahwa keluarganya tinggal di Bandung. Aku memintanya memanggilku dengan panggilan yang sama dengan panggiilan dia kepadamu. Sampai saat itu aku belum mengetahui kalau dia Ira mu”.
“Kapan kau tahu ia adalah Ira yang selalu kuceritakan”.
“Saat aku betanya padanya apa setiap orang yang bernama Ira seperti dia karena aku pun memiliki teman yang mengenal Ira yang seperti dirinya. Ku ceritakan semua yang kita bicarakan di sini. Ku ceritakan bahwa kau benar-benar mencintainya. Dan kau tahu apa yang terjadi saat itu?. Dia mengangis. Awalnya aku tak mengerti sampai ia menceritakan apa yang terjadi di antara kalian. Ira bilang kalau.....”.
“ Aku tak pernah memberi kepastian.” Fikri melanjutkan apa yang akan Hanif katakan.
“Kau benar. Lalu apa alasannya?”.
“Aku berfikir pendidikan ku harus di atas dia, dengan berbagai pertimbangn dan segala usaha akhirnya aku berani melanjutkan pendidikan ku di S2. Kau tahu bukan, susah bagiku untuk melanjutkan pendidikan. Apa lagi aku hanya seorang guru di desa. Menunggu beasiswa? Aku tak yakin”. 
Hanif tahu bahwa keluarga Fikri memang keluarga yang sederhana. Tapi tak seharusnya Fikri berputus asa seperti itu.
“Ira tak perduli jika pendidikan dan profesimu sama atau lebih rendah darinya. Yang ia harapkan hanya sebuah kepastian. Jika sekali saja kau meminta padanya untuk menunggu. Dia tak akan mau menerima lamaranku. Tiga tahun  kau sekalipun tak memberikan kabar padanya. Waktu aku tahu dia adalah Iramu aku pun langsung menghubungimu tapi tak bisa. kemana kau selama ini?”.
“Aku mengganti nomorku. Aku tak berhubungan dengan siapa pun sampai aku menelesaikan S2 ku. Aku hanya ingin aku dan dia konsentrasi belajar, tapi ternyata”.
“Dan membiarkan dia menunggumu dalam ketidak pastian. Bodoh”.
“Andai sekali saja kau katakan. Tak perlu kau ucapkan jika kau tak cukup berani.  Cukup dengan kau tunjukan rasa perdulli dan perhatian mu padanya dia akan setia menunggumu. Aku yakin itu”.
“Aku.. aku kira apa yang aku lakukan cukup untuk membuatnya yakin”.
“Ya, kau memang benar. Awalnya ia sangat yakin dan mengharapkan dirimu untuk menjadi pendamping hidupnya tapi itu sebelum kau menghilang. Dua minggu yang lalu aku masih menyuruhnya untuk memikirkan keputusannya menerima ku. Bagaimana seandainya kau datang sebelum kami menikah”.
“Apa yang dikatakannya?”.
“Aku sudah memilih aa. Kalaupun a Fikri menghubungiku sebelum kita menikah aku akan tetap memilih aa yang telah mencintaiku selama ini”.
Tidak ada yang salah. Hanya aku seharusnya lebih berani melamar gadis yang sekarang menjadi calon dari sahabatku sendiri. “Jaga Ira baik-baik Nif”.
“Insya Allah. Aku pasti akan selalu menjaganya”.
“Aku duluan. Assalamualaikum”.
“Wa alaikum salam”. Hanif berdiri memandang punggung Fikri yang semakin menjauh. Hp nya bergetar. Satu sms masuk. Ira.
Udah magrib a. Habis shalat langsung pulang. Senyum menghiasi wajah Hanif. Begitu juga senja.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar